Selasa, 19 Mei 2009

Delapan Program Andalan Prabowo

Diposting oleh Achmad



Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto mengeluarkan 8 (delapan) program andalan jika dirinya menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 2009-2014. Kedelapan program itu sangat menarik, bahkan harus diapresiasi sebagai program yang bernuansa kerakyatan dari seorang calon presiden.
Namun, apresiasi saja tidaklah cukup. Kita sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan di negeri ini wajib mengkritisi program tersebut. Dalam salah satu programnya, Prabowo berencana mencetak lahan baru, sekitar 2 juta Ha, untuk meningkatkan produksi pertanian. Namun sayang, mantan menantu Soeharto itu tidak menyinggung konflik agraria yang melibatkan petani melawan militer.
Kasus Alas Tlogo adalah sebuah fenomena gunung es dari perebutan sumber-sumber kehidupan petani melawan tantara. Dengan tidak disinggungnya persoalan konflik agraria antara petani dan militer itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Bagaimana mungkin mencetak lahan pertanian baru, jika sebagian lahannya tidak dikuasai petani namun berada di bawah kekuasaan militer? Kemana keberpihakan Prabowo Subianto, jika sudah menjadi presiden, dalam menyelesaikan konflik agraria antara petani melawan tentara ini? Mungkinkah Prabowo berbihak kepada petani?
Terkait dengan hal itu, perlu pula diberikan catatan bahwa kedelapan program Prabowo Subianto itu tidak ada yang menyinggung persoalan bisnis militer. Apakah jika menjadi Presiden Prabowo Subianto akan mengakhiri bisnis militer atau justru memberikannya payung hukum untuk melestarikannya? Lantas, bukankah sebagian konflik agraria antara petani dan tentara juga dilatarbelakangi persoalan bisnis militer?
Hal yang perlu dikritisi lagi tentu saja program penjadwalan utang luar negeri. Program itu bagus, bahkan perlu diapresiasi. Namun benarkah jika menjadi presiden Prabowo benar-benar akan menjadwalkan pembayaran utang luar negeri?Hingga kini belum jelas dengan menggunakan mekanisme apa Prabowo nantinya akan menjadwalkan pembayaran utang luar negeri tersebut? Apakah Prabowo akan mengatakan bahwa sebagian utang luar negeri di masa lalu itu adalah utang najis, karena sebagian dikorupsi dan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merusak lingkungan hidup, sehingga tidak perlu dibayar? Namun, apakah Prabowo memiliki cukup keberanian untuk menyatakan bahwa sebagian utang luar negeri itu adalah utang najis? Bukankah salah urus utang luar negeri dimulai ketika rezim Soeharto berkuasa di negeri ini? Bukankah seperti pengakuannya di “Buku Putih” (Kesaksian Tragedi Mei), bahwa ia adalah bagian dari Rezim Soeharto (Majalah TEMPO, edisi 16-22 Maret 2009)?
Selain hal itu yang perlu kita kritisi lagi adalah, bagaimana seandainya Prabowo Subianto benar-benar menjadi Presiden Republik Indonesia, namun tidak melaksanakan kedelapan program itu, apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara? Masihkah kita bisa menggunakan kebebasan sipil, seperti mengajukan petisi, melakukan demonstrasi dan sebagainya, untuk mengontrol Prabowo? Pertanyaan itu penting, mengingat hingga kini belum ada komitmen dari Prabowo terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia termasuk komitmennya untuk menjaga kebebasan sipil yang telah ada sejak tahun 1998 lalu. Komitmen itu perlu dipertanyakan mengingat Prabowo ‘dibesarkan’ di lingkungan militer pada era rezim otoriter Orde Baru berkuasa.

0 komentar:

Posting Komentar